Heroisme Atau Ketololan


Aksibakar diri seorang pria pendemo di depan istana merdeka, jalan merdeka utara,Jakarta Pusat pada hari Rabu 7 Desember 2011 telah menunjukkan bahwa kalaumasyatakat sudah sangat kecewa dengan kepemimpinan Presiden Susilo BambangYudhoyono. Selama ini memang sudah sering masyarakat berdemo di depan IstanaMerdeka, namun mereka jarang ditanggapi dengan baik.
Sebagianorang akan mencela aksinya sebagai suatu pengorbanan sia-sia atau dari sudutagama atau sosial kemanusiaan sebagai tindakan yang salah. Namun sebagian oranglain juga memberi “bintang jasa” atas keberanian Sondang melakukan protesseorang diri dengan cara mengorbankan dirinya sendiri. Sama-sama frustrasi ataskeadaan yang terjadi,teroris yang melakukan aksi bom bunuh diri selalu “mengajak”orang lain untuk mati bersama dengan dirinya,maka berbeda sekali sikap Sondanguntuk memperlihatkan rasa frustrasinya terhadap pemerintah ini,pengorbanannyatidak menyebabkan orang lain ikut “menderita” akibat perbuatannya.
Rasafrustasi Sondang dengan membakar dirinya sendiri juga bisa diartikan sebagaimempermalukan SBY sebagai kepala negara Indonesia. Bayangkan saja,mewakiliseluruh rakyat Indonesia yang frustasi terhadap Pemerintahan ini,Sondang beraniunjuk gigi agar berita pembakaran dirinya bisa diberitakan di seluruh dunia.Dari sudut perjuangan,nilai keberanian Sondang bisa diberikan nilai yang luarbiasa. Paling tidak ini akan menyentak SBY untuk lebih berani membela rakyatIndonesia katimbang membela para “penjahat” yang merongrong negara ini hinggaseperti sekarang ini.
Keberanianmempermalukan SBY dengan pengorbanan jiwa tidak bisa dipandang sebagaiperjuangan sia-sia. Kemungkinan besar Sondang adalah “alat pemicu” suatugerakan yang akan lebih radikal untuk menekan pemerintahan ini agar lebihberani dan tidak melindungi para penjahat. Para aktivis ditantang nyalinyauntuk berani berkorban katimbang cuman cuap-cuap saja.
SondangHutagalung wafat 10 Desember 2011 setelah beliau bakar diri di depan Istana,yang dikuasai durjana. Sondang wafat tepat Hari HAM. Beliau mengorbankandirinya melemparkan diri bersama Api.
PengaburanOpini karena disebabkan aksi bakar diri Sondang ini dilakukan setelah adanyaaksi demonstrasi, dan tak ditemukannya dokumen yang bisa menjadi petunjuk pesanbahwa aksinya ditujukan dalam rangka apa, ini dijadikan alasan pihak yangkontra dengan aksi bakar diri Sondang dengan menyebutnya sebagai aksi yangbelum diketahui motif dan latar belakangnya, diantaranya pihak Istana.
Istanaterlihat lebih lugas memberikan tanggapan. Sisi kemanusiaan ia tekankannormatif; nada empati dan bela sungkawa. Sisi demokrasi ia tekankan prosedurdan perkembangan; lebarnya saluran aspirasi dan jaminan kebebasan. Namun sisipolitis ia tekankan pada tanda tanya; belum diketahui motifnya!. Jelas, sikapIstana ini bentuk menutup mata dan engganannya mengakui tragedi ini sebagaiaksi protes seorang Sondang atas bebalnya Istana (kekuasaan). Dugaan aksiSondang adalah aksi politik dalam rangka protes terhadap Istana lebih bisaditerima logika waras, daripada motif lain.
Apalagiyang bersikeras sembunyi dibalik tanda tanya, jelas itu sikap mengingkarikewarasannya. Parahnya, banyak media yang sealur-pikir Istana, berkutat padatanda tanya apa motif aksi bakar diri Sondang. Sikap ini cenderung tendensiusuntuk mengaburkan opini publik pada ruang abu-abu tanda tanya. Keberpihakanmedia terhadap kepentingan publik diragukan dan dipertanyakan. Ketakutanpenguasa bahwa tragedi ini akan menjadi pemicu gelombang aksi massa sebagaimanadi Tunisia yang berakhir dengan terjungkalnya Ben Ali lebih kentara. Dan wajarada kecurigaan seperti itu. Sehingga salah satu antisipasinya adalah lewatpengaburan opini publik dengan bersikeras berlindung dibalik ruang abu-abu tandatanya; “motifnya apa?”.
Padahaljika kita mau menganalisa, setidaknya ada tiga alasan yang menguatkankemungkinan aksi Sondang tersebut lebih dilatarbelakangi motif politik, yakniprotes terhadap kepemimpinan SBY-Boediono dibanding motif lain. Pertama, soaltempat di depan Istana. Istana adalah simbol kekuasaan, pusat pemerintahan,dimana segala hal ekskusi pemerintahan bermula. Istana adalah kediaman resmikepala negara, kepala pemerintahan. Yang saat ini dalam kendali SBY-Boediono.
Orangyang dilindungi keamanannya, kenyamanannya, kesehatannya, non stop 24 jam. Agaroptimal mengurus negara, menjalankan roda pemerintahan. Bangunannya yang megahbukan sebatas dalam bentuk fisik, lebih dari itu ialah legitimasi yang kuat adapada penghuninya. Sehingga teriakan-teriakan yang ada di depannya merupakanbentuk protes tak langsung. Ini yang pada akhirnya disebut dengan gerakanekstra parlementer. Secara historis juga dikuatkan, selama ini sasaran aksidemontrasi selain di Senayan (legislatif), juga di Istana (ekskutif).
Opiniini yang sudah terbangun di benak publik. Istana bukan tempat ‘favorit’ pemudamengakhiri hidupnya karena putus cinta seperti di rel kereta api, misalnya.Kedua, sejauh ini belum ada pengakuan dari teman atau keluarga Sondang, yangmengindikasikan bahwa Sondang mempunyai persoalan pribadi, yang memungkinkanmenjadi alas an kuat ia bakar diri. Gangguan kejiwaan, konflik keluarga, putuscinta, atau keuangan, misalnya.
Sebaliknya,keaktifan dia di organisasi kemahasiswaan dan beberapa aksi HAM, dansosial-politik, lebih menguatkan dugaan motif politiklah yang melatarbelakangiaksinya. Sebagaimana sikap-sikap Sondang selama ini. Ketiga, kemungkinanterinspirasi Tunisia. Gerakan sosial-politik di Tunisia beberapa bulan laluyang dipicu aksi bakar diri seorang pemuda karena gerai sayurnya disita aparatsetempat, menjelma menjadi kobaran api perubahan dan berhasil. Warga Tunisiayang resah dan kecewa terhadap penguasanya yang tiran, mendapati kejadiantragis yang dialami sesamanya memunculkan kesadaran perlawanan kolektif.
Halitu mengundang gelombang empati dan solidaritas, dan berujung pada akumulasigerakan sosial-politik yang masif. Gerakan itu mampu memaksa Ben Ali turun daritahtanya setelah 23 tahun berkuasa. Kisah yang inspiratif. Khususnya bagiaktivis gerakan sosial. Namun tidak bagi penguasa tiran. Sebaliknya, kisah itumomok yang harus diwaspadai dan diantisipasi agar tak mengenai dirinya. Besarkemungkinan begitu semangat Sondang.
Meniliklatar belakang yang bersangkutan dan melihat tajamnya ketimpangan sosial,bobroknya birokrasi dan aparatur penegak hukum, mahalnya demokratisasi yang(sejauh ini) tak berbanding lurus dengan pemerataan pembangunan dankesejahteraan, mangkraknya kasus-kasus HAM, maraknya praktik KKN, lemahnyakepemimpinan SBY-Boediono. Istana sebagai pusat kekuasaan yang bertanggungjawabatas semua hal tadi, baik untuk mengatasi maupun mencegah, menjadi tepatsebagai sasaran protes. Selain variabel ketidak-percayaan Sondang terhadapparlemen, tentunya.
Dengandemikian, dugaan aksi bakar diri Sondang belum tentu merupakan motif politik,jika argumentasinya hanya tak ditemukannya dokumen pesan dari yang bersangkutanpada saat aksi, jelas itu lebih menunjukkan pengaburan opini dan pengingkaranlogika waras.
DiTunisia bakar diri berkobar menjadi api perubahan sosial-politik. PublikTunisia menjadikan bakar diri seorang warganya sebagai pemantik empati kolektifdan solidaritas gerakan perlawanan. Semangat pengorbanan pelaku bakar diridiapresiasi publik secara masif. Publik Tunisia menyadari pelaku bakar dirisudah mengikhlaskan jiwa raganya demi menerangi kegelapan yang disebabkanpemimpin negara yang mereka anggap tiran.
Semangatpengorbanan yang heroik dari pelaku bakar diri mampu membangkitkan kesadarankolektif publik Tunisia untuk bersama-sama bergerak, berkorban dalam rangkamenerangi kegelapan bersama. Dan berhasil.
Di Indonesia bakar diri menyusut menjadi nyala lilin-lilin kecil dan debatkusir. Sebuah akibat yang teramat jauh meski dengan sebab yang sama dengan di Tunisia;protes terhadap bebalnya penguasa.
Sondangyang mengikhlaskan jiwa raganya dengan jalan bakar diri, ditanggapi beragamdari publiknya, Indonesia. Yang pro ada yang spontan mengekspresikandukungannnya dalam bentuk menyalakan lilin di pelataran RSCM saat Sondang masihdalam perawatan, mengkampanyekan sikap keberpihakkannya di jejaring sosial,menunggui jenazahnya dan turut memberikan penghormatan terakhir saat pemakaman,hingga pernyataan sikap akan meneruskan semangat perlawanan Sondang. Yang kontra,argumentasinya berkutat pada tak ditemukannya dokumen pesan Sondang saat aksibakar diri, hingga mengutuk dan menentang aksi Sondang sebagai bentukperjuangan karena sudah lebarnya saluran aspirasi dan adanya jaminan kebebasanmenyampaikan pendapat.
Lebihdari itu, mereka menggunakan perspektif teologis untuk memperkuat vonis“bersalah” yang mereka jatuhkan pada tindakan Sondang. Dengan menyebut aksibakar diri Sondang sia-sia, tak jelas maksud tujuannya, menyalahi aturan Tuhandan lebih menunjukkan bentuk ketidak-syukuran seorang hamba, apapun agamanya.Perdebatan demikian marak kita jumpai di jejaring sosial -twitter khususnya-sesaat setelah kematian Sondang.
Setidaknyaada empat kemungkinan yang dapat membantu menjelaskan mengapa sebab yang samadengan di Tunisia namun tidak (belum?) mampu menghasilkan akibat yang samadengan di Indonesia. Pertama, kadar kompleksitas persoalan yang belum merata.Disuatu kasus (komunitas) memang nampak jelas bagaimana absennya fungsi negara.Atau bahkan kehadirannya tak lagi dalam rangka menjalankan fungsinya denganbenar dan malah sering dirasa sebaliknya.
Diwilayah ini kolektifitas kesadaran untuk melakukan perlawanan sudah terbangun.Kelompok ini diwakili OPM diantaranya. Namun dikasus (komunitas) lain yangterjadi justru sebaliknya. Negara benar-benar dirasakan kehadiran danfungsinya. Dikasus ini negara dirasakan sebagai pengayom dan mampu memberikanjaminan akan kehidupan dan masa depan. Di wilayah ini perlawanan sebagaimanayang dipahami OPM tentu bukan pilihan menarik. Golongan pengusaha, akademisi,praktisi, PNS, yang diuntungkan oleh kebijakan-kebijakan negara, misalnya.
Dua konteks ini jelas akan memandang beda atas apa yang dilakukan Sondang. Termasukdalam tataran praksis, keduanya sangat mungkin akan berhadapan secara diametralmelihat satu kejadian tunggal. Yang pada gilirannya, menjadi penyebabperpecahan sikap dalam melihat aksi bakar dirinya seorang Sondang. Kedua,kuatnya penguasa (negara). Bisa jadi secara kolektif kesadaran publik sudahterbangun, bahwa penguasa saat ini bebal melihat kesulitan hidup yang dialamiwarganya. Justru kondisi demikian dicurigai memang diciptakan penguasa untukmeraup kepentingan sebanyak-banyaknya diantara mereka. Namun karena penguasamasih kuat cengkeramannya, maka beragam cara dan momentum untuk membangkitkangelora perlawanan selalu kandas. Mampu digagalkan penguasa.
Termasukmomentum aksi bakar diri Sondang saat ini. Sikap Istana yang berkutatmempertanyakan motif Sondang menguatkan alasan ini. Ketiga, lemahnya organgerakan. Kendati kompleksitas persoalan sudah merata, kesadaran kolektif sudahterbangun, dan penguasa mulai berkurang legitimasi dan cengkeramannya, namunkarena lemahnya organ gerakan, gagapnya menangkap momentum, dan tak siapnyamemacu dan memandu kemana idealnya gerak laju perubahan, menjadi wajar aksiheroik bakar diri Sondang menguap begitu saja. Berhenti pada kesibukanmenyalakan lilin dan dan berdebat di jejaring sosial seolah sudah cukup untukmenegaskan diri (kelompok) nya mendukung aksi protes Sondang.
Keempat,bebalnya publik Indonesia. Meski alasan pertama, kedua, dan ketiga gugur, namunketika publik Indonesia masih trauma dengan gerakan yang membutuhkan kekerasansebagai satu-satunya jalan mendobrak perubahan secara radikal, maka aksi bakardiri Sondang tak juga mampu menghadirkan banyak arti buat mereka. Lebih lagisecara substantif, memilih kematian sebagai bentuk protes atas gagalnyapenguasa mengayomi warganya bukan Sondang orang yang pertama melakukan.
JikaSondang memilih kematian (bakar diri) karena untuk dan demi yang lain, sedangyang lain karena tak kuatnya menahan tekanan hidup yang mereka tanggungsendiri. Kisah seorang ibu minum racun bersama anak-anaknya, cerita seorangkepala rumah tangga bakar diri bersama keluarganya, berita seorang warga bunuhdiri karena tak sanggup berobat akibat penyakit yang ia idap –dan masih banyakkejadian sejenis, bukankan sudah berulang-ulang diberitakan ke publik?.
Dan saat itu pula kejadian tinggal kejadian, berita tinggal berita. Lalu lalang takada yang meninggalkan bekas kesadaran secara kolektif, yang mampu melahirkansemangat gerakan untuk mencegah terulangnya kembali, dengan memaksa hadir danberfungsinya penguasa sebagaimana mestinya.
Sondangtelah menyibak tabir misteri dengan jalan mempertaruhkan segala yang ia punya.Misteri tentang akankah Indonesia sebagaimana Tunisia setelah ia melakukansalah satu sebab yang sama. Kuatnya harapan akan berkobarnya bara perubahan ditanah air yang ia cintai membuatnya rela membaluri dirinya dengan api. Dansekarang terjawab sudah, apa yang ia sibak tak jauh beda dengan apa yang ialihat dan saksikan semasa hidupnya. Apa yang ia harap tak ada yang mampumenjawabnya dengan jelas, sejelasnya sikapnya melihat ketimpangan yang ia rasa.
Akan tetapi lepas dari masalahpolitik sosial yang ada, menurut SyaikhShalih al Fauzansalah seorang ulama mufti Arab Saudi dalam penyampainnya mengeluarkan fatwaharamnya bunuh diri. Dalam ceramahnya beliau mengatakan bunuh diri dan tindakanterror yang menyebabkan kematian orang yang tidak bersalah adalahlangkah-langkah syaitan, dan bagi setiap muslim yang beriman kepada Allah danhari akhirat agar menghindari perbuatan haram dan dosa besar tersebut.
“Pelaku terror merasa bahwa apa yangdilakukannya berada di jalan Allah padahal sebenarnya ia sedang melangkahmelalui jalan-jalan syaitan.” tegasnya.
Ia pun menegaskan bahwa tindakanterorisme yang terjadi belakangan ini yang merenggut banyak korban jiwabukanlah bentuk jihad, bahkan ulama Mufti Saudi ini mengeluarkan kecamannyabahwa tindakan tersebut merupakan dosa besar. Selain dirinya dewan ulama seniorsaudi juga telah mengeluarkan fatwa haramnyabom bunuh diri.Hal ini menunjukkan bahwa aksi-aksi heroik namun konyol seperti itubertentangan dengan ajaran Islam. Lalu bagaimana dengan bakar diri?
Dikatakan dalam media cetak maupunelektronik, aksi Sondang tersebut lantaran kekecewaannya terhadap negara yangdianggap gagal menuntaskan banyak persoalan HAM. Pembunuhan Munir hanyalahsalah satu contoh. Masih banyak contoh lain, seperti Tragedi Mei 1998,peristiwa Semanggi, atau kekerasan di Papua yang tak kunjungtertuntaskan. Ia memprotes dengan membakar diri di depan istana. Takpernah ada yang bakar diri di depan Istana sejak kemerdekaan. AksiSondang mengingatkan kita pada sosok Mohamed Bouazizi, pemuda Tunisia yangmembakar dirinya di depan kantor gubernur, akhir Desember 2010. SepertiSondang, frustrasi Bouazizi terhadap negaranya yang korup dan gagalmenyejahterakan rakyatnya juga memuncak.
Saya tidak tahu apakah dalam Kristenmembunuh diri sendiri suatu perbuatan berdosa atau tidak. Akan tetapi jelas didalam Islam perbuatan tersebut haram hukumnya. Oleh karena itu saya merasaprihatin apabila aksi nyeleneh dan konyol seperti bom bunuh diri danbakar diri, atau sejumlah ide-ide sensasional nan menggelikan semacamnya, akanditiru oleh generasi muslim. Karena Islam melarang umatnya berputus asa.
Dalam al-Qur’an, surat Yusuf ayat87, Allah SWT mengingatkan pesan Nabi Yakub kepada anak-anaknya tatkala hendakberangkat ke Mesir untuk mencari Yusuf, ”Janganlah kamu berputus asa darirahmat Allah, sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaumyang kafir.” inilah gambaran bahwa seberapapun besarnya ujian dan cobaan, umatIslam tidak boleh berputus asa, apalagi demi cita-cita besar dan perjuangan dijalan Allah.
“Islam melarang bunuh diri bahkanwalaupun sedang menghadapi kesulitan hidup. Apalagi melakukan bunuh diri denganmembakar diri adalah kejahatan yang mengerikan,” kata Mufti besar, Syaikh AbdulAziz bin Abdullah al-Sheikh, yang dikutip dari harian Pan-Arab.”Perbuatanmengorbankan diri sendiri dan bunuh diri adalah dosa besar,” katanya. “Kejahatanini tidak boleh tersebar, dan umat Islam seharusnya jangan menempuh jalanseperti itu, itu adalah perbuatan merusak citra muslim,” kata Mufti Arab Saudi. Jelaslah bagi kita umat Islam bahwa membakar diri denganalasan apapun dilarang oleh agama, dan pelakunya berdosa besar, sama sekalibukan suatu kebanggaan, patriotik, atau kepahlawanan.
Lalu bagaimana seharusnya seorangmuslim bersikap terhadap pemimpin yang zalim?
FirmanAllah Subhanahu Wa Ta’ala:
“Wahaiorang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul-Nya, dan ulilamri diantara kalian.” (QS. An Nisa’: 59)
Dari ibnu Umar r.a. Rasulullah bersabda: “Wajib atas setiaporang muslim untuk mendengar dan menta’ati, baik dalam hal yang ia suka atauyang ia benci, kecuali kalau ia diperintahkan dengan kemaksiatan, maka tidakboleh mendengar dan menta’ati.” (Bukhari dan Muslim)
Dan pada hadis lain Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallambersabda: “Akan ada setelahku para penguasa yang tidak melakukanpetunjuk-petunjukku dan tidak melakukan sunnah-sunnahku. Dan akan ada diantaramereka orang-orang yang hati-hati mereka adalah (seperti) hati-hati syaitanyang terdapat di jasad manusia.” Aku (Hudzaifah) berkata, “Bagaimana aku harusbersikap jika aku mengalami hal seperti ini?” Rasulullah bersabda, “Engkautetap harus setia mendengar dan taat kepada pemimpin meskipun ia memukulpunggungmu atau mengambil hartamu, maka tetaplah untuk setia mendengar dan taat!”(Riwayat Muslim).
Lihatlah Ibnu Hajar menjadikan kepemimpinan Al-Hajjaajsebagai contoh nyata bagi penerapan hadis Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam diatas. Al Hajjaj adalah seorang tokoh yang amat bengis dan kejam, para sahabatdan tabi’in sepakat bahawa dia adalah seorang fasik sehinggakan khalifah Umarbin Abdul ‘Aziz pernah berkata: “Seandainya seluruh umat berlumba-lumba denganorang yang paling keji dari mereka, kemudian setiap umat mendatangkan orangyang paling keji dari mereka dan kita mendatangkan Al-Hajjaj, niscaya kitadapat mengalahkan mereka.” Namun daripada itu, mereka masih tetap taat kepadaAl-Hajjaj.
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang mencintai kalian dan kalian mencintaimereka, mereka mendoakan kalian dan kalian pun mendoakan mereka. Danseburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang kalian membenci mereka dan merekapunmembenci kalian, kalian melaknati mereka dan merekapun melaknati kalian.”Dikatakan kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, apakah tidak (sebaiknya tatkalaitu) kita melawan mereka dengan pedang?” Rasulullah berkata, “Tidak, selamamereka masih menegakkan sholat di tengah-tengah kalian. Dan jika kalianmelihat sesuatu yang kalian benci dari para pemimpin kalian, maka bencilahamalannya dan janganlah kalian mencabut tangan kalian dari ketaatan kepadanya.”(Riwayat Muslim).
Pada hadis lain Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallambersabda:
“Barangsiapayang melihat sesuatu dari pemimpinnya yang ia benci maka hendaknya ia bersabar,karena barangsiapa yang memisahkan diri dari jama’ah sejauh sejengkal, kemudiania mati maka kematiannya bagaikan kematian jahiliyah.” (Muttafaqun ‘alaih).
Ibnu Taimiyyah berkata: “Dan merupakan ilmu dan keadilanyang diperintahkan untuk dilaksanakan adalah bersabar atas kezaliman parapenguasa, sebagaimana hal ini merupakan prinsip dasar Ahlus Sunnah walJamaa’ah.” (Majmuu’ Fataawaa 28/179).
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda“Barangsiapa diantara kalian melihat kemungkaran, maka hendaknya ia mengubahnyadengan tangannya (kekuatannya), jika ia tidak mampu, maka dengan lisannya danbila ia tidak mampu, maka dengan hatinya.” (Muslim).
Dalam hadis ini Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam membahagikanmanusia menjadi tiga golongan: Golongan pertama: adalah orang-orangyang mampu untuk menghilangkan kemungkaran dengan tangannya(kekuatannya), yaitu pemerintah atau pemimpin atau yang diberi kekuasaan dalamhal ini, seperti lembaga-lembaga dan gabernor serta panglima.
Golongan kedua: orang-orang yang mengingkaridengan lisannya, yaitu yang tidak memiliki kekuasaan, tapi memilikikemampuan untuk menjelaskan.
Dan golongan ketiga: orang-orang yang mengingkarikemungkaran dengan hatinya, yaitu mereka yang tidak memiliki kekuasaandan kemampuan untuk menjelaskan. Di sini ada perbedaan antara kekuasaan dankekuatan, kekuasaan adalah khusus milik pemerintah dan bukan milik rakyat,sedangkan kekuatan adalah umum boleh jadi milik pemerintah tapi boleh jadi jugamilik rakyat. Rakyat yang memiliki kekuatan tidak boleh memberontak kepadapemerintah yang memiliki kekuasaan selagi ia masih sholat dan belum menampakkankekufuran yang jelas, seperti mengatakan dirinya kafir atau berpihak pada kaumkafir dalam artian memerangi secara nyata orang-orang muslim.
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Sebaik-baik jihad adalah perkataan adil (yang diucapkan) di sisi penguasa yangjahat.” (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, At Tirmizy, Ibnu Majah dan dishahihkan olehAl Hakim & Al Albani).
Memberontak serta memerangi penguasa muslim yang zalimmerupakan pemikiran yang disepakati oleh seluruh firqoh-firqoh khawarij kecualial-Ibaadhiah yang memandang tidak harus dengan memberontak denganmengangkat senjata. Akan tetapi yang penting penguasa yang zalim itu bisadisingkirkan sesuai dengan kemampuan rakyat, baik dengan pedang (senjata)ataupun dengan cara-cara yang lainnya. Pemikiran ini berbeda dengan mayoritasumat Islam, yakni Ahlus Sunnah wa al-Jama’ah.
Imam Al-Aajurri berkata, “Maka tidak semestinya orang yangmelihat ijtihadnya seorang khawarij yang telah membelot kepada penguasa baikyang adil atau yang zalim lantas ia membelot dan mengumpulkan masyarakat danmenghunuskan pedangnya serta menghalalkan (untuk) memerangi kaum muslimin, makatidaklah semestinya ia terpedaya dengan qiro’ah (bacaan Al-Qur’an) si khawarijini, jangan juga terpedaya dengan lamanya sholatnya, tidak juga puasanya yangterus-menerus, tidak juga indahnya perkataannya dalam ilmu jika madzhabnyaadalah madzhab khawari.” [Asy-Syari’ah I/345].
Ibnu Taimiyyah berkata, “Oleh karena itu Nabi memerintahkanuntuk bersabar terhadap kezaliman para penguasa dan melarang untuk memerangimereka selama mereka masih sholat.
Imam Ahmad bin hambal berkata, “Setia mendengar dan taatkepada para penguasa dan pemimpin kaum muslimin baik yang sholeh maupun yangjahat…” [Ushulus Sunnah hal 42 point no 15]. Kemudian beliau berkata,“Barangsiapa yang memberontak kepada seorang pemimpin kaum muslimin padahalkaum muslimin telah bersatu di bawah kepemimpinan dan kekhilafahannya dengancara apapun (ia berhasil mencapai kehilafahan tersebut -pen), baik dengandiridhai atau dengan kudeta, maka ia telah memecah tongkat persatuan kaummuslimin dan telah menyelisihi atsar-atsar dari Rasulullah. Jika dia sikhawarij (pemberontak) ini mati maka matinya mati jahiliyah. Dan tidak halalbagi seorang pun untuk memerangi penguasa dan tidak juga memberontakterhadapnya. Barangsiapa yang melakukannya maka ia adalah mubtadi’ tidakdi atas sunnah dan jalan (yang lurus).” [Ushulus Sunnah hal 45-47 point no 20dan 21].
Syaikh Sholeh Al-Fauzan pernah ditanya, “Apakah khuruj(memberontak) kepada penguasa hanyalah dengan mengangkat pedang saja, ataukahtermasuk juga memberontak dapat berwujud dalam pencelaan terhadap pemerintahdan memprovokasi masa untuk menentang pemerintah dan berdemonstrasi menentangpemerintah?”
Beliau menjawab, “Kami telah menjelaskan hal ini kepadakalian, kami telah mengatakan bahwasanya memberontak kepada pemerintah termasukmengangkat pedang dan membicarakan (keburukan-keburukan) mereka dimajelis-majelis dan di atas mimbar-mimbar. Perbuatan ini menyebabkanberkobarnya gejolak masyarakat dan memprovokasi mereka untuk memberontak kepadapemerintah dan berkuranglah wibawa pemerintah di mata mereka. Maka perkataanadalah (termasuk) pemberontakan”. [Dinukil dari Al-Fataawa Asy-Syar’iyyah filQodhooyaa Al-‘Ashriyyah hal 107].
Imam An-Nawawi berkata: “Adapun memberontak dan memerangipara penguasa maka (hukumnya) haram dengan dasar ijma’ kaum muslimin. meskipunmereka (para penguasa) adalah orang-orang yang fasik dan zalim. Dan sangatbanyak hadis-hadis yang semakna dengan apa yang aku sebutkan ini. Ahlus Sunnahtelah ber-ijma’ bahwasanya seorang penguasa tidaklah serta merta terlepaskekuasaannya hanya karena ia melakukan kefasikan.” (Al-Minhaaj Syarh ShahihMuslim 12/229).
Imam Ahmad rahimahullah disiksa dan dipenjara oleh penguasadi zamannya karena beliau tidak mau mengucapkan kalimat kekafiran (yaituAl-Qur’an adalah mahluk). Meskipun demikian beliau mengharamkan khuruj(pemberontakan) kepada penguasa yang telah menyiksa beliau tersebut.
Jadi jelas bagi kita penganut Ahlus Sunnah wa al-Jama’ah,bahwasannya memberontak kepada penguasa zalim itu dilarang, yang diwajibkanbagi kita hanya terus berdakwah melalui lisan seperti nasihat (tausiah),dan menjadikan syari’ah Islam sebagai konstitusi negara. Jika syari’ah Islamadalah satu-satunya konstitusi negara, maka pemerintah akan tunduk padakonstitusi tersebut ketika berbuat zalim, sebab jelas bahwa syari’ah Islamadalah hukum Allah, dan pihak pemerintah akan selalu ingat bahwa dalammenjalankan hukum Allah, maka tanggung jawabnya ada di dunia serta di akhirat.Tetapi meskipun pemerintah tetap berbuat zalim, selama masih muslim danmenunaikan ibadah, maka jelas bagi umat Islam harus tetap mendukungnya. Mengapademikian? karena pemberontakan atau penggulingan kekuasaan itu akan berdampaklebih besar mudharatnya bagi umat manusia dan juga bagi persatuan dan kesatuanumat Islam.
Sedangkan jika kita kembalikan lagi ke persoalan bakar diri,maka secara hukum sudah jelas sebagaimana penjabaran di atas, dan kemudianpatutlah bagi kita umat Islam untuk tidak terbawa ke dalam arus kesesatandengan menganggap perbuatan tersebut sebagai aksi heroik atau patriotik,apalagi mencontoh atau meniru aksi-aksi semacam itu akibat telah terlanjurmenganggap sebagai simbol perjuangan. Allahu ‘Alam.
Teringat padatahun 1966, dimana mahasiswa dan pelajar melakukan aksi demo kepadapemerintahan Presiden Soekarno. Penulis sebagai Ketua Pengerahan Massa darisebuah SMA di Jakarta menyaksikan penembakan oleh pasukan Cakra Bhirawa dimukaIstana Merdeka, dan mengakibatkan meninggalnya Arief Rahman Hakim. Korbankemudian menjadi martir setelah kemelut empat bulan dalam aksi menurunkanPresiden Soekarno. Akhirnya gerakan mengkristal dan jatuhlah pemerintahanSoekarno.
Nah, kiniaksi yang dilakukan sebagai solidaritas terhadap Sondang apakah akan menirutahun 1966? Rasanya sebuah tindakan revolusi atau apapun namanya tidak akanmenyelesaikan masalah yang kini dinilai negatif oleh beberapa kalangan. Sehebat apapun proses penurunan pemerintah resmi secara inskonstitusionaldipastikan akan menimbulkan masalah baru. Mesir, Libya adalah contoh yangkiranya perlu kita renungi bersama. Stabilitas politik, keamanan hingga kinitetap amburadul disana.
Kita semuafaham bahwa sejak dilakukannya reformasi pada tahun 1998, kebebasan yang kitasetujui bersama bak air bah mengalir dan dapat menghanyutkan siapapun yangmenentang arusnya. Maka, borok-borok yang selama ini tertutupi menjadi terbuka.Semua merasa perih, pedih dan prihatin dengan kondisi bangsa yang memang selamaini mental banyak pejabat, elit politiknya dan bahkan masyarakat kemudianterlihat keburukannya. Penulis menyebutnya, kita sedang berada pada masatransisi demokrasi, dimana tranparansi menjadi sesuatu yang mengemuka.
Kini, saatnyakita semua, mulai dari pimpinan nasional, para pembantunya di Kabinet, pejabat,orang tua, guru, mahasiswa, LSM, aktivis, menyadari bahwa kita bersama-samamemiliki negara ini. Terserah bagaimana kita masing-masing berjuang dengankebersihan hati, keikhlasan, saling menghargai dan menghormati dalam mengelolakehidupan kita yang singkat di dunia yang penuh dengan dinamika ini.
Sebuahpemikiran tentang perubahan drastis dengan bentuk revolusi hanya akanmengakibatkan kesengsaraan bersama. Ongkosnya terlalu mahal bagi kita bersama.Kita jadikan protes diam bakar diri Sondang sebagai peringatan bagi kita dalammelaksanakan sistem demokrasi yang cerdas, mengedepankan Hak Asasi Manusiaseperti yang kita kehendaki bersama. Mari kita berfikir positif, kita jadikansemangat Sondang untuk menyadarkan dan menggugah kita bersama.

Komentar

Postingan Populer